Rabu, 13 Juni 2012

Bentuk Nyata Kegiatan GSI ( Gerakan sayang Ibu )



Keberhasilan pembangunan di suatu negara dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). IPM menggambarkan kualitas sumberdaya manusia yang dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Menurut laporan UNDP (united nation depolepment program) 2010, IPM Indonesia berada pada urutan ke 124 dari 187 negara. Dari indek tersebut menunjukkan bahwa proporsi penduduk miskin serta tingkat pendidikan dan status kesehatan harus menjadi fokus pembangunan sosial dan ekonomi yang seimbang.
Menyadari bahwa negara-negara di dunia baik negara kaya maupun negara miskin saling bergantung satu sama lain, maka dibuat suatu kesepakatan bersama yang bertujuan meningkatkan derajat kehidupan masyarakat miskin pada tahun 2015, yang dinyatakan sebagai Tujuan Pembangunan Millenium  (Millenium Development Goals). MDGs telah disetujui oleh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penentu untuk mengukur kemajuan yang telah dibuat dalam Deklarasi Millenium pada tahun 2000. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) sektor kesehatan adalah agenda global sektor kesehatan yang dijabarkan dalam target yang dapat diukur dan kemajuan pelaksanaannya dapat diketahui melalui indikator-indikator yang dapat diverifikasi dan diperbandingkan secara internasional.
Dari indikator kesehatan masih ditandai dengan besarnya Angka Kematian Ibu (AKI). AKI merupakan indikator penting yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas. Oleh sebab itu indikator MDGs untuk meningkatkan kesehatan ibu adalah AKI, proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih.
Hal-hal yang mempengaruhi kematian maternal secara tidak langsung adalah kondisi geografis, penyebaran penduduk, kondisi sosial ekonomi, budaya, status sosial wanita dan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya. Hasil Audit Maternal Perinatal (AMP) menunjukkan bahwa kematian maternal terjadi pada ibu dengan karakteristik pendidikan di bawah sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), kemampuan membayar biaya pelayanan persalinan rendah, terlambat memeriksakan kehamilannya, serta melakukan persalinan di rumah.
Semua faktor tersebut dinyatakan dalam istilah “3 terlambat” dan “4 terlalu” sebagai berikut:
Tiga `terlambat`
  1. Terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan untuk mencari pertolongan.
  2. Terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pertolongan persalinan.
  3. Terlambat memperoleh pertolongan yang memadai di fasilitas pelayanan kesehatan
Sedangkan “4 terlalu” mencakup:
  1. Terlalu muda melahirkan (dibawah 20 tahun) sebanyak 0,3%
  2. Terlalu kerap melahirkan (jarak antar kehamilan < 2 tahun) sebanyak 9,4 %
  3. Terlalu banyak melahirkan (lebih dari 3 anak) sebanyak 37 %
  4. Terlalu tua melahirkan (diatas 35 tahun) sebanyak 13,9 %
Salah satu upaya  Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan khususnya Dinas Kesehatan bekerjasama dengan lintas sektor,lintas program maupun elemen masyarakat ,baru baru ini langkah konkrit yang telah dilaksanakan yaitu melakukan pendekatan langsung kepada ibu hamil dan keluarganya untuk mau di rujuk ke rumah sakit karena dari hasil pemeriksaan bidan di desa setempat diketahui ibu tersebut hamil 33 mgg menderita pre eklampsi berat, ditandai dengan TD 190/110 mmHg,oedem(+)mata kabur,hasil lab albumin (+) tetapi ibu tidak mau dirujuk ke rumah sakit dengan berbagai alasan diantaranya menunggu suami datang dari bekerja diluar daerah sedangkan ibu tersebut harus secepatnya mendapatkan penanganan di rumah sakit,bidan di desa telah meminta bantuan rekan kerja di puskesmas,kepala desa,toma,dll tetapi ibu hamil tersebut tetap tidak mau dirujuk ke rs.
Akhirnya diambil kebijakan kadinkes yaitu langsung turun kelapangan bersama2 dengan lintas sektor dan lintas program baik dari kecamatan maupun lingkup kabupaten untuk membujuk ibu agar bersedia dirujuk ke rumah sakit dan alhamdulillah atas kerjasama semua pihak akhirnya ibu  bersedia dirujuk ke rs.

Setelah 2 (dua) hari perawatan di rs untuk  pengawasan keadaan ibu dan tindakan pematangan paru janin, akhirnya dilakukan Sectio Caesaria dan alhamdulillah  ibu melahirkan dengan selamat dan bayinya lahir sehat.
Semoga kasus2 seperti ini jadi pengalaman kita semua ..........

Jumat, 01 Juni 2012

Pertemuan Orientasi Program Pengelolaan Kekerasan Terhadap Anak (KtA) kab.HSS


Acara Pembukaan di hadiri Plh.Kepala Dinkes Kab.HSS
Masalah kekerasan terhadap anak (KtA) merupakan masalah global yang terkait hak asasi manusia. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang teridentifikasi di pelayanan kesehatan dasar dan di pelayanan rujukan termasuk kepolisian merupakan fenomena gunung es,karena belum menggambarkan jumlah seluruh kasus yang ada di masyarakat.

Hanya sebagian kecil kasus kekerasan yang dilaporkan, karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kasus KtA adalah aib dan merupakan masalah ”domestik”  dalam keluarga yang tidak pantas diketahui orang lain.
Menurut data Pusdatin Kementerian Sosial periode Januari – Juni 2008,mencatat jumlah anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 21.872 anak dan korban kekerasan seksual sebanyak 12.726 anak,dimana pelakunya merupakan orang terdekat dengan korban seperti orang tua kandung/tiri/angkat,paman,kakek,guru,tetangga,dll.

Kasus KtA sangat mempengaruhi kesehatan korban terutama pada anak yang masih berada dalam proses tumbuh kembang,sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM ). Oleh karena itu dibutuhkan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan berkualitas.

Selama ini, penanganan di tingkat pelayanan dasar di Puskesmas belum dilakukan secara optimal,karena belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai,belum berfungsinya kemitraan dan jejaring dengan sektor terkait padahal penanggulangan masalah KtA mencakup aspek medis, medikolegal maupun psikososial yang penanganannya membutuhkan jejaring.

Tenaga kesehatan sering menjadi orang pertama yang berhadapan dengan korban KtA akibat masalah kesehatan yang dialaminya.Sebagian tenaga kesehatan masih belum memahami bahwa kasus tindak kekerasan selain berdampak pada aspek medis juga berdampak pada aspek medikolegal dan psikososial,sehingga penanganannya hanya berfokus pada gangguan fisik,sementara aspek lainnya masih terabaikan.Dari aspek medikolegal tenaga kesehatan juga sering diminta untuk membuat Visum et Repertum oleh polisi penyidik.

Berdasarkah hal tersebut di atas,menindaklanjuti pertemuan pengelolaan KtA di tingkat Propinsi Kalimantan Selatan, maka dilakukan Pertemuan Orientasi Program Pengelolaan Kekerasan Terhadap Anak (KtA) Tingkat kabupaten Hulu Sungai Selatan yang dilaksanakan pada hari Rabu, 30 Mei 2012 yang dihadiri perwakilan 20 ( dua puluh ) puskesmas Se-kab.HSS terdiri dari dokter dan koordinator KIA.Adapun materi diberikan oleh narasumber Moc.Adib,SKM,M.Kes dari Seksi KIA Dinkes HSS, dr.Taufik Rahman dari Dinkes Prop.Kalsel, dr, Hj.Siti Jainab dari PKM Bayanan dan Dra.Hj.Rukayah dari Badan KB,PM dan Perempuan kab. HSS.

Semoga materi yang didapat pada pertemuan ini dapat menjadi acuan dan dapat diaplikasikan oleh pengelola program di tingkat Puskesmas......amien....

Daftar Pustaka :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,2011,Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,Jakarta